Kayong Utara, khatulistiwatimes.com- Di tengah arus modernisasi dan urbanisasi, jumlah petani di Indonesia semakin menurun. Generasi muda cenderung lebih tertarik bekerja di sektor industri atau digital dibandingkan bertani. Padahal, pertanian adalah sektor vital yang menopang ketahanan pangan dan ekonomi negara. Kehadiran petani muda menjadi angin segar bagi dunia pertanian, membawa inovasi dan teknologi dalam bercocok tanam.
Reporter menghimpun anak-anak muda dari berbagai kalangan untuk mencari tahu alasan dibalik minimnya generasi muda untuk menjadi petani. Salah satunya ialah Roni Bia Santo, pemuda yang berkerja di Non Goverment Organization ini beranggapan jika stigma adalah salah satu penyebab ia enggan jadi petani.
“Petani ni sering dianggap jadi pekerjaan kelas bawah yang identik dengan keterbatasan ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan. Pandangan macam ini membuat banyak anak muda merasa bahwa bertani bukan pilihan yang menjanjikan dibandingkan pekerjaan lain yang dianggap lebih bergengsi, seperti bekerja di kantor atau industri kreatif di perkotaan,” ucapnya.
Pemuda lainnya yang kami temui, ialah Suhada, pemuda yang sehari-hari bekerja di bidang Surveyor Multifinance ini mengaku enggan menjadi petani lantaran banyaknya persoalan dibidang pertanian yang tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah.
“Pupuk mahal, dan alat pertanian kurang memadai, juga sering terjadinya banjir, Jadi zat asam makin kuat, dulu 3 kali panen gagal total jadi kami putuskan berhenti menjadi petani, “ ujarnya kecewa.
Seorang pemuda yang sehari-hari bekerja sebagai konten kreator, Kang Pepen menyebut jika ia memilih untuk tidak menjadi petani karena tidak memiliki pengalaman yang banyak dibidang pertanian.
“saya kurang paham mengenai pertanian dan saya pikir bekerja sebagai petani itu terlalu sulit buat saya, “ ucapnya.
Sementara itu menurut Muhamad Jusuf, seorang pengamat pertanian Kayong Utara menilai jika krisis petani muda dapat mengancam ketahanan pangan di Indonesia.
“Krisis pangan bisa terjadi karena kurangnya kuantitas dari Sumber Daya Manusianya, bagaimana bisa mengangkat kualitas jika kuantitas belum terpenuhi,” ucapnya.
Namun Muhammad Jusuf optimis, jika petani muda akan muncul dengan berbagai inovasi baru yang akan mengikuti jaman.
“Tentu nanti akan ada lahir generasi muda yang akan membawa perubahan cara Bertani, dari yang tradisional ke modern. Seperti pertanian dengan cara hidropolik akan berkembang mengikuti jaman,” ujarnya
Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) selama periode 1 Juni hingga 31 Juli 2023, mayoritas petani di Indonesia berusia di atas 55 tahun. Data menunjukkan bahwa petani generasi X (usia 43-58 tahun) mendominasi dengan proporsi 42,39%, diikuti oleh petani baby boomer (usia 59-77 tahun) sebesar 27,61%, dan petani milenial (usia 27-42 tahun) sebanyak 25,61%. Sementara itu, petani dari generasi Z (usia 11-26 tahun) hanya berkontribusi sebesar 2,14%.
Tren ini menunjukkan peningkatan proporsi petani berusia di atas 55 tahun dan penurunan proporsi petani berusia di bawah 44 tahun dibandingkan dengan data sensus pertanian sebelumnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian di Indonesia didominasi oleh petani berusia lanjut, sementara partisipasi generasi muda cenderung menurun.
Situasi ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan berbagai pihak terkait untuk mendorong regenerasi petani melalui berbagai program, termasuk pendidikan vokasi dan peningkatan literasi keuangan di sektor pertanian.(Irvan)